Jampang Tengah

Akhirnya, setelah lama direncanakan, kami berangkat juga ke Jampang. Sebuah daerah di sebelah selatan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Meski keberangkatan kami ketika itu sebetulnya mendadak juga. Jam 1 siang tepat kami meninggalkan Terminal Leuwipanjang. Bis ekonomi jurusan Bandung-Sukabumi yang kami tumpangi berjalan pelan. Mungkin penumpang yang baru mengisi sebagian kursi yang jadi penyebabnya. Sepanjang perjalanan kernet terus berteriak menggoda calon penumpang. Selewat pintu tol Padalarang bis mulai disesaki penumpang seketika itu pula ketenangan kami mulai terusik. Kepulan asap rokok yang keluar dari puluhan mulut mulai mendominasi oksigen di kabin bis.

Selepas itu perjalanan sudah berkurang kenyamannya. Beragam haruman yang keluar dari masing-masing penumpang ditambah dengan kepulan asap rokok menemani sepanjang perjalanan. Semilir angin membantu meringankan “penderitaan” kami. Aroma-aroma itu mulai hilang terkalahkan oleh angin jalan. Seorang wanita tua yang tidak kebagian tempat duduk, pemuda bergaya masa kini, ibu muda menggendong anaknya, pedagang baju yang baru belanja dagangan di Pasar Baru, pedagang asongan yang seolah tak henti berpidato di depan untuk memikat pembeli disahuti oleh celotehan kernet yang menarik ongkos dari penumpang. Selain itu semua, terselip di deretan bangku paling belakang kami yang terhimpit oleh bawaan kami dan barang dagangan penjual pakaian tadi.

Menjelang magrib kami tiba di terminal Jubleg. Terminal terakhir dimana di terminal itu juga terdapat satu-satunya angkutan yang akan membawa ke daerah Jampang. Elf terakhir tampak nongkrong menunggu penumpang. Dan rupanya kamilah penumpang pertama yang memasuki elf tersebut. Tanpa banyak tanya kernet elf mengangkut barang bawaan kami, dan tahu2 sudah berada di atas elf. Tiga tas ransel ukuran besar yang berisi ratusan buku bacaan, satu tas ransel berukuran lebih kecil dari yang tiga tadi berisi pakaian kami berempat. Tas kecil berisi barang bawaan yang lebih pribadi kami bawa masuk ke dalam elf. Sembari menunggu penuh, kami membeli perbekalan disini. Bakso, gorengan yang sudah dingin, beberapa potong kue serabi, dan beberapa ikat lontong kami lahap. Dua botol air mineral sengaja kami bawa untuk di perjalanan nanti.

Sesaat sebelum magrib elf mulai bergerak. Penumpang yang sebelumnya tidak begitu penuh mulai kehilangan kenyamanan. Sepanjang perjalanan sopir terus menaikkan penumpang, bahkan sampai ke atap!! Kami sering berolok kalau pipi bisa menempel di kaca jendela untuk menggambarkan penuhnya sebuah kendaraan, namun ketika itu hal tersebut kami alami. Selain pipi yang harus menempel di kaca, kami juga harus menahan kesemutan karena kaki harus ditekuk untuk berbagi tempat dengan penumpang lain. Untungnya tidak ada penumpang yang merokok di elf ini.

Perjalana nmalam rupanya memberi keuntungan juga buat kami yang baru pertama kali main ke daerah ini. Kondisi jalan yang tidak bisa dikatakan bagus dan rata membuat kami tidak melihat sejauh mana kerusakannya. Ada satu ruas jalan yang kami rasa cukup ekstrem ketika itu. Jalan menikung dengan jalan yang tidak rata ditambah dengan jalan tersebut miring membuat penumpang menahan napas beberapa saat. Sepanjang perjalanan adrenalin terus terpacu karena sopir rupanya tidak mau terlalu malam tiba di tujuan. Jika melihat kondisi jalan dan jauhnya jarak alasan itu tidak berlebihan, bahkan sangat realistik.

Menjelang jam 9 malam kami tiba di terminal Sagaranten. Akhirnya kami tiba juga di tujuan. Sambil mengambil nafas beberapa jenak, kaki kami selonjorkan untuk membuang kram. Kegembiraan ternyata tidak bisa langsung kami luapkan, karena tujuan sebenarnya masih harus kami tempuh dengan ojeg (akronim dari ongkos ngajegang). Tidak lebih dari setengah jam kami sudah sampai di rumah tujuan. Tak sabar menunggu pagi untuk merasakan keajaiban apa lagi yang akan kami rasakan esok hari.

Benar saja. Matahari belum menampakkan dirinya, namun simfoni dari berbagai jenis burung dan satwa malam yang terlambat masuk sarang menambah suasana desa Margaluyu, Kec. Sagaranten semakin meriah di pagi ini. Pagi pertama di Jampang. Sarapan dengan menu sederhana menjelma menjadi sajian kelas atas pagi hari itu. Nasi goreng dengan bumbu irisan bawang merah dan cabe rawit untuk menambah rasa hangat diiringi kicauan burung pagi dan suara satwa lain merupakan pengalaman yang luar biasa. Kami makan di teras yang langsung menghadap hamparan sawah siap panen.

Di tempat inilah, cita-cita kami untuk membuat rumah baca yang bisa diakses siapa saja tanpa dipungut bayaran dimulai. Ini adalah rumah baca pertama kami. Segera saja buku-buku yang beberapa jam lalu masih menumpuk tak karuan dalam tas ransel mulai masuk dan berderet dengan anggunnya di rak-rak yang sederhana. Cerita silat Wiro Sableng berbagi tempat dalam satu rak dengan cerita dan komik silat lokal lainnya. Roman, novel, dan buku bertema “berat” kami simpan di rak lainnya. Khusus buku-buku bertema keagamaan kami tempatkan di lemari kaca.

Perjalanan 8 jam dari Bandung terbayar lunas ketika pengunjung pertama datang dan meminjam buku di Rumah Baca Parapet.

Komentar

  1. koreksi lur, lain jampang tengah, sacara administratif itu adalah Sagaranten, secara sosio kultural itu adalah Jampang.

    BalasHapus
  2. nuhun lur, ana kenalna jampang tengah. nuhun koreksina....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ole-olean

Bioskop Dalam Kenangan

Pijat Bayi