Muaragembong

Untuk kesekian kalinya kami mengunjungi Muaragembong. Kecamatan yang berada di sebelah utara Kabupaten Bekasi ini berada di dekat Laut Jawa. Untuk mencapai ke sana kami naik elf dari Cikarang. Rasa-rasanya lebih baik menggunakan perahu dari teluk Jakarta menuju muara Sungai Citarum daripada naik angkutan darat. Kami pernah menggunakan perahu dari depan rumah sampai ke Jakarta hanya diperlukan waktu antara dua sampai tiga jam, ini lebih singkat daripada kami menggunakan jalan darat ke Jakarta. Bahkan ke Bekasi kota saja dibutuhkan sedikitnya empat sampai lima jam dari Muaragembong.

Elf yang akan kami tumpangi, seperti biasa, ngetem menunggu penuh penumpang. Cukup lama kami tertahan di Cikarang (ketika itu masih terminal Cikarang lama), namun penumpang belum juga penuh. Menjelang sore barulah semua tepat duduk terisi. Ternyata dugaanku tidak meleset. Sepanjang perjalanan supir terus menaikkan penumpang hingga melebihi ambang batas penumpang yang diizinkan. Apalagi ketika kami melewati sebuah sekolah menengah yang baru bubar. Segera saja atap mobil dipenuhi tunas-tunas bangsa ini. Kasian mereka, pembangunan belum merata sampai ke daerahnya (ketika itu).

Perjalanan sore hari dengan cuaca cerah ternyata sungguh mengasyikkan. Matahari sore tersenyum lembut memayungi kami yang terpanggang di dalam elf. Perasaan panas di dalam elf ditambah dengan hawa panas khas daerah pesisir laut mulai membakar kulit, namun itu terobati dengan pemandangan hamparan sawah dan tambak yang terbentang sepanjang perjalanan. Sejauh mata memandang, hanya hamparan hijau sawah dan coklat tambak yang terlihat. Jika pun ada terlihat deretan pohon ditengah-tengahnya, itu adalah jalan yang memotong hamparan sawah dan tambak itu.

Rupanya ada beberapa ruas jalan raya Cikarang-Muaragembong yang jalurnya sejajar dengan Sungai Citarum. Lebar sungai yang selalu mengakibatkan banjir di daerah Bandung Selatan ini sangat lebar disini, mungkin karena dekat ke muaranya. Yang pasti di sepanjang sungai ini banyak terdapat eretan, yaitu semacam sampan yang diikatkan pada seutas kawat baja untuk menyebrangkan orang dan kendaraan dari kedua sisi sungai. Sungai ini jadi batas alami Kabupaten Bekasi dengan Kabupaten Karawang. Lebar sungai ini katanya ada yang mencapai lebih dari 50 meter. Ada kepercayaan masyarakat di Muaragembong, khususnya yang rumahnya dekat sungai bahwa seorang pemuda belum bisa disebut lelaki bila belum bisa berenang menyebrangi sungai citarum bolak-balik. Kebetulan temanku yang asli dari sana belum pernah melakukan itu. Ia sejak sekolah menengah pertama sudah meninggalkan kampungnya untuk sekolah ke Bekasi.

Selepas magrib kami tiba di tujuan. Keringat terus keluar dari tubuhku meski telah malam. Udara pesisir rupanya masih juga belum terbiasa bagi orang sepertiku yang selalu berada di ketinggian (Bandung berada lebih kurang 700 mdpl).

Seperti biasa, rencana untuk membuat rumah baca disana kami coba rintis dengan membawa beberapa kardus buku bacaan ringan. Novel dan komik kami simpan disana. Kebetulan rumah temanku ini selalu dipakai tempat belajar mengaji anak-anak kampung, jadi kami tidak terlalu kesulitan untuk mencari “pasar” pengunjung rumah baca kami nanti. Hingga saat ini jumlah koleksi buku disana belum bertambah karena kesibukan di Bandung dan hal lain yang membuat kami belum bisa kesana lagi. Beberapa hari yang lalu, Muaragembong terkena dampak luapan sungai Citarum yang sudah kelebihan debit air dan tidak mampu tertampung badan sungai. Padahal tanggul yang berada tepat di depan rumah temanku ini lebarnya lebih dari 50 meter untuk sampai ke bibir sungai. Berarti banjir ini sangat besar. Jika kampung itu saja terendam, apalagi kampung-kampung sekitar yang tanggulnya tidak selebar itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ole-olean

Bioskop Dalam Kenangan

Pijat Bayi