Bioskop Dalam Kenangan

Selama puluhan tahun menghabiskan waktu di Bandung, rupanya telah merubah banyak penampilan kota itu. Sebagai orang yang lumayan hobi nonton tentu saja tempat nonton di Bandung banyak yang telah dikunjungi, baik itu untuk sekedar jalan-jalan atau memang sengaja untuk nonton. Nonton bioskop (sebenarnya istilah ini agak rancu, karena artinya kita hanya melihat gedung bioskop- gedung tempat diputarnya sebuah pertunjukan film- bukan film yang diputar di dalam gedung bioskop) biasanya dilakukan bersama orang tua, teman, kekasih, bahkan dengan teman yang baru dikenal. Khusus yang terakhir biasanya kenal ketika antri tiket dan berlanjut selama film diputar. Setelah itu biasanya sudah tidak saling kenal lagi. Sebagai pemanis pertemanan jenis itu biasanya saling bertukar salam perpisahan. Ketika itu belum lazim orang yang mempunyai telefon genggam, jika pun ada yang mempunyai jaringan telefon di rumahnya mereka tidak akan sembarangan memberikan nomor telefonnya kepada orang yang belum jelas latar belakangnya.

Pertama kali nonton bioskop di tahun 1980-an, diajak Bapak nonton film Superman. Ketika itu nonton di dua bioskop yang berbeda. Yang satu nonton di Plaza Theatre dan satu lagi di Nusantara Theatre. Plaza berada di Jalan Ahmad yani, sekarang bekas gedungnya dipergunakan sebagai salah satu pusat komputer di Bandung. Sedangkan Nusantara Theatre berada di pusat kota, satu gedung dengan Palaguna Theatre.

Berbeda dengan bapak yang sering mengajak Aku dan Kakakku nonton film-film laga, Ibu biasanya mengajakku menonton film-film drama keluarga. Kami biasanya nonton di Bandung Theatre, Vanda (konon katanya ini singkatan dari Panti Budaya, namun penulisan “V” pada kata Vanda mungkin untuk gaya-gayaan saja). Bangunan Vanda sekarang menjadi gedung Bank Indonesia di jalan Perintis Kemerdekaan, sedangkan Bandung Theatre berubah menjadi bangunan pasar Kosambi yang jauh lebih modern.

Untuk lebih mengenalkan jiwa patriotisme pada siswa, kami ketika masih duduk di bangku SD diajak nonton oleh guru di Bioskop Nirwana, di Jalan Ahmad Yani. Menjelang kebangkrutannya, bioskop ini banyak memutar film-film dewasa yang cenderung seronok dan vulgar. Sekarang bangunan bekas bioskop ini dipakai untuk dealer kendaraan bermotor. Selain di Nirwana, kami pun biasanya diajak nonton film di auditorium RRI Bandung di jalan Diponegoro. Kadang juga diajak nonton di Gedung Kesenian Rumentang Siang di Jalan Baranangsiang.

Beranjak remaja, pengalaman menonton tidak lagi bersama keluarga tapi bersama teman sebaya. Beberapa bioskop yang pernah (bahkan beberapa diantaranya menjadi sering) kami sambangi diantara Kiara 21 di jalan Kiaracondong, bioskop Artha di Jalan Karapitan, Dallas di Jalan Dalem Kaum, Majestic di Jalan Braga, Galaksi di jalan Kepatihan, Taman Hiburan di Jalan Ahmad Yani, Regent di Jalan Sumatera, Astor di Ujungberung, Kopo 21 di Jalan Kopo Sayati, Dian di Jalan Dalem Kaum, Empire 21 di Jalan Merdeka.

Banyak film yang turut mewarnai masa remaja kami. Beragam pengalaman pun telah banyak dikecap. Mulai dari berkenalan dengan siswi dari sekolah kejuruan, dipalak preman setempat, digodain bencong dan para pria penyuka sejenis, kenal akrab dengan petugas parkir, dekt dengan petugas penyobek karcis, hingga hal lain yang tidak akan ditulis disini, dengan alasan itu sangat pribadi.

Rasa-rasanya ketika akhir dekade ‘90-an itulah istilah nomat mulai dikenal masyarakat. Jika sebelumnya dikenal istilah midnight untuk pertunjukan diatas jam 10 malam dan istilah matinee untuk film yang dipertunjukan pada jam 10 pagi, maka nomat adalah potongan harga tiket masuk bioskop. Nomat diberlakukan hanya pada hari senin. Jam pertunjukkan sama, hanya saja harga tiketnya lebih murah. Bisa jadi ini untuk menarik minat masyarakat agar tetap menonton di bioskop. Karena pada saat yang bersamaan di Bandung sudah ramai penyewaan VCD player berikut keping-keping filmnya. Beberapa tahun berikutnya persewaan mungkin sudah tidak seramai akhir milenium kedua tadi, tapi usaha jualan DVD bajakan semakin merajalela hingga sekarang. Jika sebelumnya VCD mengandalkan sistem suara yang bagus, maka DVD mengandalkan kualitas gambar dan fitur-fitur lain yang semakin memudahkan penonton.
Harga murah dan mudah dijangkau menjadi alasan utama warga kota untuk memilih menonton di rumah daripada harus pergi jauh ke pusat kota atau pusat belanja untuk menonton bioskop. Bisa jadi ini juga yang mengakibatkan ambruknya bisnis layar lebar di Bandung. Meski beberapa masih beroperasi dan muncul jaringan bioskop baru yang menawarkan berbagai fasilitas menonton dari yang sudah ada, tapi jumlahnya tidak sebanyak dulu, minimal dua puluh hingga tiga puluh tahun kebelakang.

Jauh sebelum kami menyukai nonton bioskop, jumlah bioskop dan “taman di Bandung jauh lebih banyak. Istilah “taman” digunakan untuk menyebut bioskop misbar, gerimis bubar. Artinya meski tetap memberlakukan harga tiket masuk, namun ruangan bioskop taman ini beratap langit dan tidak jarang beralas tanah, alias tidak memiliki atap dan tidak memiliki bangku permanen untuk duduk penonton. Bahkan ada beberapa taman yang di malam hari dipergunakan untuk memutar pertunjukkan film, di siang hari dipergunakan anak-anak untuk bermain. Beberapa taman yang ada di Bandung diantaranya adalah Taman Hiburan (taman yang paling akhir tutup) di jalan Ahmad Yani dan Taman Warga di ujung Jalan Supratman.

Taman biasanya berada di kawasan-kawasan yang padat penduduknya, karena taman merupakan hiburan yang murah meriah, merakyat, dan menjadi melting pot berbagai kelompok yang ada di masyarakat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ole-olean

Pijat Bayi