rahim

Tak ada abstraksi dalam hidup, semuanya jelas dan terperinci dihadapanmu. Rahim, anakku, merupakan angka enam yang kau lafalkan sambil mulutmu mengatup, kata ibumu suatu ketika. Engkau terdiam dalam remang yang tak kau mengerti, sementara diluar, jalan yang bermandi cahaya lampu kota berkilatan setelah gerimis mengguyurnya bisu tak menyeretmu pergi. Apakah engkau tahu, bahwa rahim meringkuk dalam perutku seumur hidup dan pada satu waktu engkau ada di dalamnya. Lemah dan tanpa daya, lanjut ibumu. Diam-diam matamu berpaling pada sepotong malam yang ada pada jendela. Aku tahu engkau tak menyaksikan apa-apa selain pohon pisang yang diserang hama, sehingga daun-daunnya yang lebar serupa jubah hantu-hantu yang tergambar pada buku komik.

Ibu tak hendak menakutimu, katanya. Ada yang harus kau cari dalam tempurung kepalamu, sesuatu yang bahkan tak kau ingat kapan kejadiannya, sebelum engkau mampu mengingat. Ingat, anakku, engkau tak berdaya, apalagi untuk merekam kejadian.

Perempuan itu manusia agung, pada dadanya ada kesuburan, ada nutrisi untukmu, ada tangan Tuhan yang menyuapimu ketika orok. Dadanya yang menonjol dua itu, membuatmu tumbuh menjadi berdaging dan bertulang. Pada cairan putih yang keluar dari ujungnya itu, ada sesuatu yang tak terdapat pada cairan itu secara bentuk. Kasih ibu. Tak ada campuran apapun dalam kasih ibu, dia tunggal. Tak ada susu formula seharam apapun yang dapat menggantikannya.

Kemarin engkau tidur mendengkur, suaranya lembut seperti helaan nafas yang ringan dan membuatmu berada di awan. Ibu hanya ingin mewejangimu sesuatu sebelum engkau menjadi bapakmu. Menjadi lelaki yang berbulu ketiak.

Engkau mengerjap ketika ibumu menaruh kain sulamnya, mungkin dalam kepalamu tercipta tanya. Apakah ibu sudah selesai dengan wejangnya? Apakah ayah mendadak bisu sehingga hanya membiarkan ibu berkata-kata sendiri? Engkau menemukan jawabannya puluhan tahun setelah itu.

***

Matahari yang ringkih pelan-pelan menelanjangi kota tua yang sudah usang itu, cahayanya yang tumpah segera memandikan seisi kota dengan geliat ketakutan dan bayangan kelaparan. Kelaparan itu kekuatan dan nyali. Dari jalan menuju pasar loak kota tua itu, ada satu pondok kumuh yang hanya layak dijadikan sarang merpati liar dan tempat tidur hantu-hantu. Didalamnya ada perabotan atau rongsokan yang sudah butut. Kasur busa kumal yang pada mukanya terdapat hampir sepuluh tambalan, kursi kayu yang jika seseorang duduk diatasnya mengeluarkan suara derit, juga jika yang duduk hendak pergi bediri. Ada dapur sebetulnya, tapi tempat itu telah terkena sihir dan berubah rupa menjadi ruang lengang yang lembab dan bernuansa gelap. Kamar mandinya seperti tempat mesum darurat, air yang menetes pada ember terus-menerus dan lumut hijau yang menjijikan di dindingnya.

Perempuan yang mendiaminya bertubuh kering,hampir bisa disebut kerontang tak berdaging. Tapi senyumnya manis seperti sembul senyum lukisan berisyarat. Pada tubuhya menempel kaos lusuh bertuliskan “They don't speak for us”*, celananya hampir tak terlihat sebab gombrongnya kaos tadi. Matanya menyimpan rahasia yang amat dalam, pada hitam diantara putihnya berpijaran setumpuk pengetahuan tentang banyak hal. Rambutnya cuma sebahu, tak pernah lebih. Garis mukanya kasar, seperti orang yang sering diterjang panas dan debu disiang hari. Hatinya lembut, tak tergali. Dadanya hampir tak ada. Ia sering terbatuk-batuk, diatas kasurnya ia sering berada. Tidur, pura-pura tidur, menulis puisi didalam hatinya, membaca keras-keras sajak tanpa suara dan melupakan segala.

Namanya Sajekti, sebetulanya ia bukan tanpa latar belakang, konon memang ada potongan-potongan cerita yang menyertainya tiba dihari ini. Tapi memang tak banyak yang tahu. Bukankah tak terpetakan itu satu hal yang susah didapatkan. Setiap pagi ia akan terbangun dari batuk panjangnya yang mengganggu, pergi ke kamar mandi untuk menyeka muka dengan air, dan kembali ke ruang yang dinamai kamar. Akan selalu ada sisa air mineral dan roti dari semalam yang suntuk dan membosankan. Sisa air mineral itu tak lantas langsung habis direguknya sekali, selalu ia sisakan lagi setangah, berapa banyakpun sisa awalnya. Menjelang siang selalu ada yang datang, laki-laki yang mau atau tidak akan selalu ada dalam cerita. Satu manusia yang datang dengan sepatu rusak dan mata sayu sambil menjinjing kantong plastik berisi nasi bungkus murahan berlauk obrolan remeh temeh.

Awalnya laki-laki itu hanya akan berkata “cuma ada telor dadar”, “yang ada tahu bumbu” atau “hari ini kita makan dengan kuah semur daging sapi”. Maka mereka berdua, saling menyapa dengan tangan yang menggapai-gapai dalam satu bungkus nasi yang sama. Mata mereka berbicara, bertukar cerita tentang mimpi tadi malam yang menyeramkan, tentang malaikat yang enggan datang atau tentang rumah ibadah. Kamu itu, kalau sedang makan, kaya orang lagi birahi. Nafasnya tersenggal-senggal, kata Sajekti. Laki-laki itu diam saja, hanya tersenyum. Cuci mulutnya air, air memang buat mencuci, kata laki-laki itu. Usai sarapan merengkap makan siang itu, si laki-laki akan membasuh seluruh tubuh Sajekti dengan air hangat. Mengusap setiap lekuk yang ada padanya, lantas memakaikan lagi pakaiannya. Sajekti sering menolak, tapi laki-laki itu selalu memaksa dan memohon agar ia tetap diperkenankan. Jekti, kamu tahu apa yang aku lakukan tak sebanding dengan apa yang kamu lakukan, kata laki-laki itu. Lantas Sajekti memeluknya, berbisik ditelinga kanan laki-laki itu. Apa yang aku beri padamu selama ini? Ia bertanya. Kamu tidak memberi apa-apa, sebab itulah aku tahu kamu tidak mengharap apa-apa dariku, jawabnya sambil mengelus punggung Sajekti yang linu. Bukakan kaosku, Maklum. Maklum mengecupnya, membuka kaos yang menempel pada tubuhnya.

***

“Kamu itu terlalu khawatir dengan apa kata orang, Jekti.”

“Sebetulnya aku bukan khawatir, tapi semua ini, lama-lama membuat kita menjadi terikat satu sama lain. Aku takut kamu merasa menjadi badut, sekedar boneka.”

Maklum terdiam, Sajekti mengalihkan pandangannya pada lalu lalang pengendara beca yang letih. Mirip zombie.

“Aku rasa, aku harus ketemu dia.”

“Jangan bikin semuanya tambah kacau. Dia pasti merasa lebih tersudut. Maklum, dia orang baik-baik, tidak akan kuat dengan semua ini.” Sajekti terdiam, menarik nafas. “Maklum, aku rasa kita sebaiknya tidak perlu bertemu lagi.”

“Kenapa?”

Dan Sajekti berdiri dari tempat duduknya, berjalan memunggungi laki-laki itu.

***

Dia berjingkrak diantara jejal manusia disekitarnya, kepalanya dibenturkan pada udara. Musik yang menghentak seperti mantra tanpa kata, Maklum mendekatinya. Senyum yang manis, pada telinga perempuan itu dia berbisik. Perempuan itu menoleh ke arahnya. Tersenyum. Saya Sajekti, katanya. Maklum Salim, katanya. Dia menarik tangan kawan barunya.

“Yang membuat otak kita berguna adalah hal-hal remeh temeh yang kita pikirkan sehari-hari, di waktu senggang. Kekasih yang belum kita nikahi berpose dalam keadaan telanjang dihadapan kita, bubuk kopi yang kita campurkan dengan tembakau hutan pulau ini sebelah timur atau tentang seberapa tolol penulis-penulis yang bukunya kita baca dan kita kagumi.” Kata laki-laki itu.

“Kamu tahu? Saya pernah pergi ke satu tempat yang airnya berwarna perunggu, dari dasar sungai tempat air itu berada, hidup ikan-ikan yang bersisik halus. Pohon-pohon disana benar-benar bermanfaat. Rimbun dan berbuah banyak. Kamu tahu kenapa para filsuf mati? Sebab mereka pantas mati.”

Dan malam meninggi, Maklum dan Sajekti menggerutu tentang kejadian-kejadian, lama dan baru yang mereka lalui. Ketika rokok tersisa lima batang mereka berkenalan, dan kini rokok terakhir telah dibuang.

***

Jekti, kata laki-laki itu dengan lembut. Yang kamu berikan padaku adalah sesuatu yang tidak kamu perhitungkan sebagai sesuatu yang sangat berharga. Terhitung. Maka, aku, dengan tangan yang lemah, menerima apapun yang engkau kehendaki, aku menerimanya dengan keyakinan, bahwa cintaku ada, sebab ia memang ada. Mengada dan tidak mengada-ada. Aku mengalir bersama marahmu, bersama bencimu padaku. Cinta dan benci terlahir dari rahim yang sama. Hati. Jekti, apa yang kamu derita kini membuatku ingin mengabdikan semuanya padamu. Aku mengerti, Jekti. Dan jiwaku untukmu seutuhnya. Dan setiap helaan nafasku adalah untukmu.

Jekti, aku pamit, istriku menunggu pasti. Dia baik, dan anak kami montok. Dia bahagia bersamaku. Seperti apa yang kau harapkan. Istriku, anak pemikiran kita berdua. Dia bahagia.

Amnesia. Cuma kata itu yang keluar dari mulut Sajekti sebelum laki-laki itu meninggalkannya bersama beberapa botol air mineral dan roti.

***

Dia terlihat lebih tua daripada ubannya, langkahnya gontai. Setiap sudut gang yang ia masuki seperti terowongan panjang dalam kepalanya. Diujung, sepetak rumah kontrakan yang meski kecil tapi asri menantinya setia. Istri dan anaknya.

Aku pulang, istriku, anakku.

Aku laki-laki, manusia sendiri, meringkuk dalam rahim perempuan yang aku cintai. Berlindung.

*Radiohead – No Surprises

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ole-olean

Bioskop Dalam Kenangan

Pijat Bayi