solubilitas

Jika gagasan telah dituliskan,
maka ia berkata seolah berlidah.
Pada kerongkongannya terdapat hasrat,
terdapat tanya dan itikad.
Mungkin ia berlari, mencari diantara cahaya mentari.
Apakah engkau sedang menanti sesuatu, Tuanku?
Membacalah, maka kamu seklian akan tersesat.

Pada pagi akan kau temui serangkaian cahaya matahari yang menggeliat menerangi setiap inci bumi. Hangatnya, mula-mula akan membuatmu berpikir bahwa hidup ini indah apa adanya. Pada setiap terang yang ia sajikan padamu, terdapat harapan-harapan yang melambungkan angan ke angkasa. Menuju awan-awan yang membentuk tanah surga. Tapi lantas engkau tersadarkan oleh layar televisi yang melukis kesenangan pada sebotol air bernama, hitam lurusnya rambut wanita, dan putih licinnya kulit kekasih. Engkau bergumam; Hidup ini menyebalkan seperti adanya.

Inilah Sapardi, lelaki muda yang penuh tenaga, tak terbatas waktu dan tak terjegal ruang. Ditangannya terdapat bakat menulis yang tak akan pernah habis dikikis usia. Ia penulis, sastrawan kata kawan-kawannya. Salah satu pendongeng kelas eksekutif di republik ini. Ada banyak tulisannya yag telah menjadi tinja, mengalir entah kemana atau tertampung entah dimana. Orang-orang menghargai karyanya lewat lembaran kertas bertuliskan angka-angka berjejer angka nol. Angka ajaib.
Seperti siang itu, ia berada disebuah gedung yang sesak oleh manusia penggemar rangkaian huruf-huruf. Sapardi muda sedang menghadiri pagelaran bahasa dan sastra.
Bekas gedung pertunjukan wayang orang, sejak tiga tahun yang lalu lebih sering dipakai untuk pertemuan-pertemuan yang masih berhubungan dengan kebudayaan. Konon. Ruang besar dengan panggung dan hampir seribu kursi saling berhadapan. Dulu, sebelum tiga thun yang lalu datang, setiap sabtu petang akan dilakonkan cerita-cerita wayang, entah itu Ramayana atau Mahabarata, tapi gedung itu selalu seperti magnet yang menarik semua orang untuk berada disekitarnya. Disekitar gedung tidak hanya ada mereka yang ingin menyaksikan pagelaran, tapi kadang ada mereka yang hanya datang untuk bertemu kawan atau janji bertemu kekasih atau mereka yang hanya pintar bicara tentang tetek bengek, seni dan secangkir kopi.
Mereka yang duduk menghadap panggung seolah dibuat terkagum oleh apa yang baru saja mereka saksikan, sebuah tontonan menarik. Pembacaan sajak bertinta revolusi dengan biaya berjuta kepala mencari nasi. Sajak reformasi! Sajak demokrasi! Sapardi beriak bersama kawan-kawan sastrawannya menyambut riuh tepuk tangan penonton. Dari panggung, setidaknya ia bisa menerka-nerka berapa banyak telinga yang telah mendengar sajaknya. Semoga perubahan cepat terjadi, gumamnya dalam hati.
Semakin banyak orang yang terkabarkan, akan semakin besar peluang perubahan. Perubahan macam apa?
Sebagian dari mereka hanya duduk saja dibawah pohon besar disekitar gedung. Mengadu cangkir-cangkir kopi dan wacana tentang terbukanya kran demokrasi yang berindikasi masuknya lagi ideologi kiri. Kadang mereka terus disana hingga shubuh bahkan pagi, tak pernah mengenal lagu-lagu dan tari-tari dipanggung pada malam hari. Mereka itu pemilik darah-darah yang mendidih, kata seorang tua yang sudah lama tinggal disekitar panggung, bertempat tinggal disana sekaligus mengais rejeki dari pengangguran yang lebih gemar dipanggil seniman. Biasanya mereka beridskusi tentang karya-karya seni besar yang pernah mereka temukan, tentang lukisan perempuan peninggalan Majapahit yang masih utuh meski ditemukan disekitar sungai menuju Brantas, atau kadang-kadang mereka membicarakan keadaan republik yang carut-marut yang juga kata mereka diakibatkan oleh korupnya bapa-bapa dewan dan begitu mudahnya aset nasional terjual. Atau tentang kucing si anu yang mati sebab terjepit lemari, atau tentang sopir Angkutan Kota yang habis babak belur dihajar aparat karena tidak sopan berkendara, atau tentang istri-istri mereka yang mewangi birahi. Maka sunyilah si bapa yang dari tadi berbicara tentang mereka.
Sapardi turun dari panggung, bersambut senyum kekasih yang bergaun ayu. Kulitnya bening.
Ketika gedung reda dari mereka yang duduk menghadap panggung, Sapardi seolah kembali ke masa dimana ia merangkak menuju bahasa lewat huruf-huruf yang berantakan. Garis tinta yang terseok-seok pada lembar kertas bekas, dan imajinasi yang lebih sering terbang pada penandatanganan kontrak dengan perusahaan penerbitan. Dimana para seniman menginjakan kaki. Huruf-huruf tetap tak hidup, kata-kata seolah tak mengatakan apa-apa dan kalimat menjadi lisut. Lusuh.
Pada hari-hari biasa, gedung itu hanyalah bangunan berhantu yang tak tampak asri. Hanya akan ada pengurus gedung yang umurnya telah lewat dari setengah abad, punggungnya serupa huruf U terbalik, dan ubannya telah memonopoli warna kepala. Ia seorang diri dari sejak lahir, tak punya bapa atau ibu. Tak punya siapa-siapa. Tak pernah menikah. Yang diurusinya hanyalah perlengkapan gedung, membersihkan kursi-kursi sehabis pertunjukan usai atau membenarkan atap yang bocor. Warna-warni masyarakat minor di republik bernuansa horor.
Sapardi keluar dari gedung itu menggandeng tangan kekasih yang senyumnya tak luntur oleh malam. Ke rumah? Tanya Sapardi. Sedang ingin tidur di kamar sendiri, jawab kekasih. Maka mereka pun berlalu dari gedung tua itu tanpa menengok lagi kearahnya. Perjalanan malam tak ubahnya seperti menantang api yang sedang bergolak, didalamnya seperti ada jutaan ancaman bagi manusia. Inilah bunyi surat cinta Tuhan. Maka katakanlah, Aku berlindung dari kegelapan malam. Sapardi semakin jauh melangkah, semakin mendekt kearah tujuan. Besok bangunkan aku untuk tandatangan kontrak baru, kata Sapardi. Kekasihnya hanya mengangguk dalam dekapan. Tak ada yang lebih memualkan dari sepasang kekasih yangmenebar kasmaran ditengah jalan menjelang malam.
Tengah malam telah terlewati, udara semakin dingin menembus kulit memakan daging. Gedung rapuh kian hari kian terlupakan oleh kemajuan cara manusia mendapat makan. Mengenyangkan hasrat. Seni, barang macam apakah itu seni? Dalam ruang gelap gedung berhias kursi raja-raja penikmat untaian kata dan lenggak-lenggok wayang manusia, terdengarlah suara hantu-hantu malam yang bergentayangan. Pa Tua berkepala putih telah lelap dalam mimpi sederhananya, mimpi tentang radio yang mengeluarkan bebunyian tentang kebohongan.
Seniman tak butuh makan, kata gedung itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ole-olean

Bioskop Dalam Kenangan

Pijat Bayi