untuk istriku
Insinyur Djoen
(dimuat dalam antologi cerpen Minerva,2006)
Sudah beberapa hari ini aku selalu melamun dimalam hari, setelah pulang kerja ada kebiasaan baru sebelum aku beranjak tidur biasanya aku selalu diam sendiri didepan teras rumahku, melamun dan hanya melamun saja. Aku masih saja terus teringat nasihat ibu agar segera menikah, setelah seminggu kemarin ayah dan ibuku memberi masukan pada diriku agar aku segera berumah tangga, menurut mereka aku ini sudah cukup matang untuk menikah ditambah lagi aku adalah anak tunggal. Ibuku ingin segera menimang cucu katanya. Akupun sadar kini umurku sudah beranjak diusia 34 tahun dan rasanya sudah cukup pantas aku untuk menikah, tapi bukan itu masalahnya karena sampai saat ini aku belum punya calon untuk dijadikan seorang isteri. Aku merasa setiap hari dihabiskan ditempat kerja sehingga rasanya tidak punya waktu untuk serius mencari seorang yang ingin dijadikan pendampingku kelak, padahal itu bukan alasan yang tepat kata ibu
“Kamunya aja gak serius…” Itu kata ibu
“Kalau perlu ibu jodohkan kamu sama anak temen ibu, dia punya anak gadis yang belum menikah” terus saja ibu mendesak aku.
Saat itu aku belum berani memutuskan. Sebagai anak tunggal ibu mendidikku sangat baik sekali sampai aku sukses seperti sekarang menjadi seorang engineer disalahsatu perusahaan property terkenal, bahkan saat ini aku sudah menduduki vice manager, itu semua adalah berkat peran kedua orangtuaku terutama ibuku yang selalu mendidikku dengan keras dan penuh. Sehingga aku samai saat ini aku tidak berani untuk membantahnya, apalagi ini adalah permintaan ibu yang mulia agar aku segera menikah, katanya setelah ini peran ibu seperti sudah lengkap.
“Ibu ingin sekali melihatmu menikah ardi, ini adalah permintaan ibu terakhir…..ibu takut gak bisa melihatmu lagi, apalagi ibu sudah cukup tua”
“Ibu juga ingin segera menimang cucu pertama dari kamu Di..” begitu pinta ibu.
Kata-kata itu selalu saja terngiang-ngiang ditelingaku setiap aku melamun dan tanpa sadar ibu sudah berdiri disampingku
“Dah makan Di….”
“Sudah sana istirahat didalam, diluar udara dingin, enggak baik buat kesehatan” suara ibu mengagetkanku yang sedang melamun.
“Oh…..Iya bu, tadi Ardi dah makan sebelum pulang kok, mampir dulu bareng teman makan ditempat favorite Ardi”
“Kamu sedang memikirkan apa Di…”Tanya Ibu
“Coba kamu pikirkan saran ibu untuk segera menikah, jadi setiap kali kamu pulang ada istri yang melayanimu dan kamu gak kesepian lagi seperti sekarang”
“Besok ibu mau ketempat temen ibu, sekalian bersilahturahmi ibu juga mau menanyakan perihal anak gadisnya”
“Gak apa yah ibu jodohkan kamu ama dia….” Pinta ibu
Dan tanpa sadar aku mengangguk begitu saja seperti orang setuju, dan ibu terlihat tersenyum begitu aku mengangguk.
Ibu terlihat bahagia begitu aku mengiyakan aku akan menikahi gadis temen ibu itu, dan dari lubuk hati yang terdalam aku tidak berani untuk menolak tawaran ibu.
“Ingat Di, dalam mencari istri bukan paras ayu yang diutamakan tapi yang memiliki hati dan berbudi mulia itu jauh lebih penting…” sekali lagi ibu memberikan nasehatnya kepadaku sebelum masuk kedalam rumah.
Sekali lagi aku termenung diam dikeheningan malam.
***
Akhirnya pernikahan ini berlangsung juga, pernikahan yang dalam hati kecilku tidak diharapkan. Karena sampai hari pernikahan inipun aku belum melihat calon isteriku, bagaimana rupa istriku. Aku hanya menuruti kata ibu untuk menikahi dia, menurut ibu dia adalah wanita yang sangat sholehah, baik dan berhati mulia. Saat itu aku hanya mengiyakan saran ibu saja.
Ternyata istriku memakai jilbab yang sangat tertutup sekali dan sekilas aku tak bisa melihat wajahnya secara utuh, akhirnya ijab Kabul pun telah dilaksanakan dan aku masih saja belum percaya kalau aku telah menikah.
Setelah resepsi yang cukup meriah dilaksanakan sampai malam akupun merasa cape sekali. Setelah berbasa-basi dengan keluarga besar akupun segera menuju tempat tidur untuk beristirahat, dan ternyata isteriku sudah berada disana. Dan betapa kagetnya hatiku ini begitu istriku membuka jilbab tertutupnya, ada perasaan kecewa yang sangat mendalam begitu aku melihat paras wajahnya.
“Tidak seperti yang aku bayangkan, apalagi yang aku harapkan “ Pekik aku berteriak didalam hati.
Istriku langsung tertunduk diam begitu melihat mimik kecewa dari wajahku, sepertinya dia merasakannya, tapi aku diam saja dan tanpa terasa aku melewati malam itu tanpa kata sedikitpun.
Keesokan harinya aku menemui ibuku dan bicara tentang isteriku ini
“Beginikah ibu memberikan pilihannya kapadaku…?” aku sedikit marah karena kecewa.
“Diakah yang ibu ceritakan padaku”
“Yang ibu banggakan tentang calon isteriku dulu….” aku masih saja kecewa.
Entah ada apa dengan diriku, padahal sebelumnya aku tak pernah berani berbicara seperti itu kepada ibuku.
“Ardi…..Cukup sudah bicaramu” ibu memotong ucapanku tadi
“Ibu tau apa yang terbaik buat anaknya, dan percayalah pada ibu Di “ ibu memberiku nasihat
“Ibu tidak akan mengecewakan anaknya, dan tidak pernah untuk menjerumuskan anaknya” ingat itu Ardi, ibu sepertinya kecewa kepadaku.
Tapi dengan bijak akhirnya ibu menghampiriku
“Ardi…ingat kata-kata ibu dulu” ibu mencoba mengingatkanku.
“Ada yang lebih penting dari istri yang berparas cantik, yaitu hati dan tingkah lakunya yang mulia serta agamanya yang kuat”.
“Dia adalah gadis yang sholehah Ardi….cobalah kamu menerima, ikhlaskan hatimu” ibu masih saja memberiku nasihat, dan masih banyak lagi nesihat yang aku dengarkan. Akhirnya aku hanya bisa pasrah menerima karena dalam hatiku, aku tidak ingin mengecewakan ibuku tercinta. Mungkin ini adalah hadiah terbaik yang bisa aku berikan untuknya agar ibu bisa bahagia.
Dan hari demi hari aku lewatkan pernikahan yang tidak aku inginkan ini. Rasanya hidup beserta isteriku semakin lama rasanya kering, dingin, hampa, kurang semangat dan tampak tidak harmonis. mungkin karena aku belum mencintai isteriku sepenuhnya akibat pilihan orangtuaku.
Tapi terlepas dari semua itu, isteriku ini adalah pilihan ibuku dan aku harus menghargai pilihannya ini.
***
Dan akhirnya semuanya pun berlalu begitu saja, aku melewati dan menjalani kehidupan baru ini sebagai pasangan suami-isteri dan tanpa terasa sudah lewat satu tahun setengah perjalanan bahtera rumah tanggaku dan aku kini mempunyai satu anak darinya, seorang putri yang sangat cantik, begitu tahu isteriku melahirkan ibuku sangat bahagia sekali. Akhirnya keinginan dia untuk menimang cucu terlaksana juga.
Tetapi walaupun perkawinanku ini sudah berjalan cukup lama tapi suasana yang tidak harmonis itu tetap aku rasakan, dan tanpa aku sadar aku sering memperlakukan isteriku dengan kurang baik, mulai sering terjadi pertengkaran di rumah kami ini. Tetapi isteriku ini selalu sabar menghadapi semuanya, tidak jarang aku sering melayangkan pukulan kearah wajahnya, sepertinya aku mulai ringan tangan terhadapnya. Belakangan ini, aku mulai merasa tidak nyaman berada dirumah. Rutinitasku bekerja berangkat sangat pagi-pagi sekali, dan baru pulang larut malam. Alasanya, aku bilang ada rapat dikantor dan bertemu klien untuk membahas proyek perumahan atau meninjau lokasi apartemen yang akan dibangun. Sementara itu aku mulai main perempuan diluar rumah setelah pulang kerja sore, biasanya aku mampir ditempat-tempat karaoke yang menyediakan wanita-wanita nakal, kehidupanku ini semakin tidak teratur saja, semakin bejat dan sangat liar.
Ketika suatu malam aku baru balik dari kantor aku tidak langsung pulang kerumah tapi seperti biasa aku mampir ketempat hiburan dulu, dan aku disana minum terlalu banyak tanpa sadar aku sedikit mabuk dibuatnya. Akan tetapi malam itu juga aku memutuskan untuk pulang rumah, apalagi ingat hari ini adalah hari ulang tahun anakku, walaupun aku kurang nyaman dengan pernikahanku tapi entah kenapa aku sangat sayang sekali terhadap anakku ini. Aku agak pusing waktu itu, tapi aku memaksakan tetap menyetir dan ternyata apa yang aku tidak harapkan terjadi. Aku mengalami kecelakaan hebat dijalan bebas hambatan, ketika aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi tanpa sadar aku menabrak mobil truk yang sedang berhenti mengganti ban, mobilku terbalik entah berapa kali aku tidak sadar waktu itu, seketika mataku menjadi gelap.
***
Aku mulai membuka mataku, aku samar melihat isteriku berada disampingku dan disisinya terlihat ibuku sedang menggendong anakku,
“Apa yang telah terjadi…..” aku bertanya pada isteriku. Tubuhku masih terasa lemas sekali, kemudian isteriku bercerita apa yang terjadi dan diberitahu bahwa aku telah pingsan selama seminggu. Tanpa sadar aku kaget mendengar ceritanya, tapi yang lebih mengagetkan ketika aku akan menggerakan kakiku ternyata seperti ada yang berbeda.
“Astagfirullah…..” pekikku dalam hati.
“Kenapa dengan kedua kakiku..?” aku bertanya pada orang disekelilingku
“Kemana kakiku….” Ada perasaan yang berbeda bercampur aduk menjadi satu, dan air matakku meleleh mulai membasahi pipiku. Sepertinya aku tidak siap dengan keadaanku. Kemudian isteriku mulai melanjutkan ceritanya, bahwa kakiku pada saat kecelakaan terjepit dan menurut dokter yang menangani kasusku ini tiada jalan lagi, kakiku harus diamputasi jika tidak bisa infeksi kemudian menjadi busuk, bias berakibat buruk juga secara tidak langsung terhadap kesehatan diriku ini, aku kaget setengah mati mendengarnya.
Selama di rumah sakit isteriku telaten merawatku dari mulai menyuapiku makan, mengganti pakaianku, sampai urusan buang air dia sangat perhatian sekali terhadapku. Aku mulai sadar bagaimana jadinya kalau aku belum menikah, atau isteriku membalas dendam atas perbuatanku dulu yang selalu bersikap dingin dan tidak jarang aku sering mengasarinya. Akhirnya aku telah kembali dari rumah sakit, kini aku mulai membiasakan diri menggunakan kursi roda, tapi isteriku ini sangat perhatian sekali, dia banyak membantu segala aktivitasku dalam recovery dari sakitku ini. Perusahanku tempatku bekerja mem-PHKkan ku dan alhamdulillahnya aku diberi pesangon yang cukup. Kemudian aku memberikan uang itu kepada isteriku karena aku merasa sudah tidak sanggup lagi untuk melakukan sesuatu yang bisa mengurusi keuanggan lagi, terlebih setelah aku keluar dari perusahaan itu. Akhirnya isteriku menggunakan uang itu untuk modal berdagang sesuatu didepan rumahku, isteriku membuat toko serba ada dan toko ini lumayan terlihat maju. Kadang aku merenung sendirian, betapa baiknya isteriku ini. Dia tidak pernah mengeluh mempunyai suami yang lumpuh, setiap pagi isteriku mengajak aku keliling komplek untuk menghirup udara segar agar pikiran tidak mudah stress katanya. Kadang dia menghiburku dengan pertanyaan-pertanyaan lucu yang membuat aku tertawa, ternyata isteriku orang yang periang juga. “Dia isteriku yang baik…” aku berfikir, kenapa aku menyia-nyiakan kebaikannya selama ini. ” begitu bodohnya aku, begitu egoisnya aku selama ini…” aku mengumpat sendiri dalam hati.
Tak lama kemudian aku menghampiri isteriku yang berada diruang makan, sedang menyiapkan makan siang untukku. Kemudian aku berbicara dengan dia.
”Dinda Isteriku….. aku meminta maaf atas semua kesalahanku dulu, atas apa yang telah aku perbuat kepadamu, aku sangat menyesal telah memperlakukanmu dengan sangat buruk” pintaku kepada dia dan tanpa terasa air mata ini jatuh dari mataku
“Aku sangat menyesal sekali, dinda….”
“Maafkan suamimu ini” kataku berkali-kali sembari tersedu-sedu aku menangis.
Dan diapun membelai pundakku, dia berujar dengan lembut.
“Walaupun apa yang telah terjadi, kamu adalah suamiku tercinta…….” Dan tak lama kemudian kami pun saling berpelukan, aku menangis terharu memecah suasana diruang makan ini dan kami saling memaafkan atas semua yang telah terjadi. Untuk mengisi hari-hariku dikursi roda dan sebagai pengusir kejenuhan, aku mulai banyak membaca buku agama dan aku semakin rajin saja dalam beribadah mendekatkan pada yang diatas, aku merasa apa yang telah terjadi pada diriku adalah takdir bagiku dan semua itu adalah cobaan bagi hambanya, aku harus kuat menghadapinya. Aku merasa bersyukur sekali mendapatkan isteri yang sholehah, baik dan berhati mulia. Tak ada yang bisa menggantikan perannya, dia adalah pelangi untukku dan selalu menjadi bulanku yang sempurna menerangiku tanpa henti dan selalu menemaniku dan terus memberikan semangat hidup dikala hati ini gelap dan redup.
Mulai saat itu aku hidup rukun bersama isteri dan anakku tercinta. Kami saling menyayangi satu sama lain, dan hari-hariku diisi dengan nilai-nilai yang lebih agamis. “tak ada kata terlambat….”pikirku untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah penuh rahmat dari Allah SWT.
Benar kata hadist dari Rasulullah SAW dari buku hadist yang aku baca bahwa “Kekejian dan perbuatan keji, sama sekali bukanlah ajaran Islam. Sesungguhnya orang yang terbaik keislamannya adalah yang terbaik budi pekertinya.”
2006
(dimuat dalam antologi cerpen Minerva,2006)
Sudah beberapa hari ini aku selalu melamun dimalam hari, setelah pulang kerja ada kebiasaan baru sebelum aku beranjak tidur biasanya aku selalu diam sendiri didepan teras rumahku, melamun dan hanya melamun saja. Aku masih saja terus teringat nasihat ibu agar segera menikah, setelah seminggu kemarin ayah dan ibuku memberi masukan pada diriku agar aku segera berumah tangga, menurut mereka aku ini sudah cukup matang untuk menikah ditambah lagi aku adalah anak tunggal. Ibuku ingin segera menimang cucu katanya. Akupun sadar kini umurku sudah beranjak diusia 34 tahun dan rasanya sudah cukup pantas aku untuk menikah, tapi bukan itu masalahnya karena sampai saat ini aku belum punya calon untuk dijadikan seorang isteri. Aku merasa setiap hari dihabiskan ditempat kerja sehingga rasanya tidak punya waktu untuk serius mencari seorang yang ingin dijadikan pendampingku kelak, padahal itu bukan alasan yang tepat kata ibu
“Kamunya aja gak serius…” Itu kata ibu
“Kalau perlu ibu jodohkan kamu sama anak temen ibu, dia punya anak gadis yang belum menikah” terus saja ibu mendesak aku.
Saat itu aku belum berani memutuskan. Sebagai anak tunggal ibu mendidikku sangat baik sekali sampai aku sukses seperti sekarang menjadi seorang engineer disalahsatu perusahaan property terkenal, bahkan saat ini aku sudah menduduki vice manager, itu semua adalah berkat peran kedua orangtuaku terutama ibuku yang selalu mendidikku dengan keras dan penuh. Sehingga aku samai saat ini aku tidak berani untuk membantahnya, apalagi ini adalah permintaan ibu yang mulia agar aku segera menikah, katanya setelah ini peran ibu seperti sudah lengkap.
“Ibu ingin sekali melihatmu menikah ardi, ini adalah permintaan ibu terakhir…..ibu takut gak bisa melihatmu lagi, apalagi ibu sudah cukup tua”
“Ibu juga ingin segera menimang cucu pertama dari kamu Di..” begitu pinta ibu.
Kata-kata itu selalu saja terngiang-ngiang ditelingaku setiap aku melamun dan tanpa sadar ibu sudah berdiri disampingku
“Dah makan Di….”
“Sudah sana istirahat didalam, diluar udara dingin, enggak baik buat kesehatan” suara ibu mengagetkanku yang sedang melamun.
“Oh…..Iya bu, tadi Ardi dah makan sebelum pulang kok, mampir dulu bareng teman makan ditempat favorite Ardi”
“Kamu sedang memikirkan apa Di…”Tanya Ibu
“Coba kamu pikirkan saran ibu untuk segera menikah, jadi setiap kali kamu pulang ada istri yang melayanimu dan kamu gak kesepian lagi seperti sekarang”
“Besok ibu mau ketempat temen ibu, sekalian bersilahturahmi ibu juga mau menanyakan perihal anak gadisnya”
“Gak apa yah ibu jodohkan kamu ama dia….” Pinta ibu
Dan tanpa sadar aku mengangguk begitu saja seperti orang setuju, dan ibu terlihat tersenyum begitu aku mengangguk.
Ibu terlihat bahagia begitu aku mengiyakan aku akan menikahi gadis temen ibu itu, dan dari lubuk hati yang terdalam aku tidak berani untuk menolak tawaran ibu.
“Ingat Di, dalam mencari istri bukan paras ayu yang diutamakan tapi yang memiliki hati dan berbudi mulia itu jauh lebih penting…” sekali lagi ibu memberikan nasehatnya kepadaku sebelum masuk kedalam rumah.
Sekali lagi aku termenung diam dikeheningan malam.
***
Akhirnya pernikahan ini berlangsung juga, pernikahan yang dalam hati kecilku tidak diharapkan. Karena sampai hari pernikahan inipun aku belum melihat calon isteriku, bagaimana rupa istriku. Aku hanya menuruti kata ibu untuk menikahi dia, menurut ibu dia adalah wanita yang sangat sholehah, baik dan berhati mulia. Saat itu aku hanya mengiyakan saran ibu saja.
Ternyata istriku memakai jilbab yang sangat tertutup sekali dan sekilas aku tak bisa melihat wajahnya secara utuh, akhirnya ijab Kabul pun telah dilaksanakan dan aku masih saja belum percaya kalau aku telah menikah.
Setelah resepsi yang cukup meriah dilaksanakan sampai malam akupun merasa cape sekali. Setelah berbasa-basi dengan keluarga besar akupun segera menuju tempat tidur untuk beristirahat, dan ternyata isteriku sudah berada disana. Dan betapa kagetnya hatiku ini begitu istriku membuka jilbab tertutupnya, ada perasaan kecewa yang sangat mendalam begitu aku melihat paras wajahnya.
“Tidak seperti yang aku bayangkan, apalagi yang aku harapkan “ Pekik aku berteriak didalam hati.
Istriku langsung tertunduk diam begitu melihat mimik kecewa dari wajahku, sepertinya dia merasakannya, tapi aku diam saja dan tanpa terasa aku melewati malam itu tanpa kata sedikitpun.
Keesokan harinya aku menemui ibuku dan bicara tentang isteriku ini
“Beginikah ibu memberikan pilihannya kapadaku…?” aku sedikit marah karena kecewa.
“Diakah yang ibu ceritakan padaku”
“Yang ibu banggakan tentang calon isteriku dulu….” aku masih saja kecewa.
Entah ada apa dengan diriku, padahal sebelumnya aku tak pernah berani berbicara seperti itu kepada ibuku.
“Ardi…..Cukup sudah bicaramu” ibu memotong ucapanku tadi
“Ibu tau apa yang terbaik buat anaknya, dan percayalah pada ibu Di “ ibu memberiku nasihat
“Ibu tidak akan mengecewakan anaknya, dan tidak pernah untuk menjerumuskan anaknya” ingat itu Ardi, ibu sepertinya kecewa kepadaku.
Tapi dengan bijak akhirnya ibu menghampiriku
“Ardi…ingat kata-kata ibu dulu” ibu mencoba mengingatkanku.
“Ada yang lebih penting dari istri yang berparas cantik, yaitu hati dan tingkah lakunya yang mulia serta agamanya yang kuat”.
“Dia adalah gadis yang sholehah Ardi….cobalah kamu menerima, ikhlaskan hatimu” ibu masih saja memberiku nasihat, dan masih banyak lagi nesihat yang aku dengarkan. Akhirnya aku hanya bisa pasrah menerima karena dalam hatiku, aku tidak ingin mengecewakan ibuku tercinta. Mungkin ini adalah hadiah terbaik yang bisa aku berikan untuknya agar ibu bisa bahagia.
Dan hari demi hari aku lewatkan pernikahan yang tidak aku inginkan ini. Rasanya hidup beserta isteriku semakin lama rasanya kering, dingin, hampa, kurang semangat dan tampak tidak harmonis. mungkin karena aku belum mencintai isteriku sepenuhnya akibat pilihan orangtuaku.
Tapi terlepas dari semua itu, isteriku ini adalah pilihan ibuku dan aku harus menghargai pilihannya ini.
***
Dan akhirnya semuanya pun berlalu begitu saja, aku melewati dan menjalani kehidupan baru ini sebagai pasangan suami-isteri dan tanpa terasa sudah lewat satu tahun setengah perjalanan bahtera rumah tanggaku dan aku kini mempunyai satu anak darinya, seorang putri yang sangat cantik, begitu tahu isteriku melahirkan ibuku sangat bahagia sekali. Akhirnya keinginan dia untuk menimang cucu terlaksana juga.
Tetapi walaupun perkawinanku ini sudah berjalan cukup lama tapi suasana yang tidak harmonis itu tetap aku rasakan, dan tanpa aku sadar aku sering memperlakukan isteriku dengan kurang baik, mulai sering terjadi pertengkaran di rumah kami ini. Tetapi isteriku ini selalu sabar menghadapi semuanya, tidak jarang aku sering melayangkan pukulan kearah wajahnya, sepertinya aku mulai ringan tangan terhadapnya. Belakangan ini, aku mulai merasa tidak nyaman berada dirumah. Rutinitasku bekerja berangkat sangat pagi-pagi sekali, dan baru pulang larut malam. Alasanya, aku bilang ada rapat dikantor dan bertemu klien untuk membahas proyek perumahan atau meninjau lokasi apartemen yang akan dibangun. Sementara itu aku mulai main perempuan diluar rumah setelah pulang kerja sore, biasanya aku mampir ditempat-tempat karaoke yang menyediakan wanita-wanita nakal, kehidupanku ini semakin tidak teratur saja, semakin bejat dan sangat liar.
Ketika suatu malam aku baru balik dari kantor aku tidak langsung pulang kerumah tapi seperti biasa aku mampir ketempat hiburan dulu, dan aku disana minum terlalu banyak tanpa sadar aku sedikit mabuk dibuatnya. Akan tetapi malam itu juga aku memutuskan untuk pulang rumah, apalagi ingat hari ini adalah hari ulang tahun anakku, walaupun aku kurang nyaman dengan pernikahanku tapi entah kenapa aku sangat sayang sekali terhadap anakku ini. Aku agak pusing waktu itu, tapi aku memaksakan tetap menyetir dan ternyata apa yang aku tidak harapkan terjadi. Aku mengalami kecelakaan hebat dijalan bebas hambatan, ketika aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi tanpa sadar aku menabrak mobil truk yang sedang berhenti mengganti ban, mobilku terbalik entah berapa kali aku tidak sadar waktu itu, seketika mataku menjadi gelap.
***
Aku mulai membuka mataku, aku samar melihat isteriku berada disampingku dan disisinya terlihat ibuku sedang menggendong anakku,
“Apa yang telah terjadi…..” aku bertanya pada isteriku. Tubuhku masih terasa lemas sekali, kemudian isteriku bercerita apa yang terjadi dan diberitahu bahwa aku telah pingsan selama seminggu. Tanpa sadar aku kaget mendengar ceritanya, tapi yang lebih mengagetkan ketika aku akan menggerakan kakiku ternyata seperti ada yang berbeda.
“Astagfirullah…..” pekikku dalam hati.
“Kenapa dengan kedua kakiku..?” aku bertanya pada orang disekelilingku
“Kemana kakiku….” Ada perasaan yang berbeda bercampur aduk menjadi satu, dan air matakku meleleh mulai membasahi pipiku. Sepertinya aku tidak siap dengan keadaanku. Kemudian isteriku mulai melanjutkan ceritanya, bahwa kakiku pada saat kecelakaan terjepit dan menurut dokter yang menangani kasusku ini tiada jalan lagi, kakiku harus diamputasi jika tidak bisa infeksi kemudian menjadi busuk, bias berakibat buruk juga secara tidak langsung terhadap kesehatan diriku ini, aku kaget setengah mati mendengarnya.
Selama di rumah sakit isteriku telaten merawatku dari mulai menyuapiku makan, mengganti pakaianku, sampai urusan buang air dia sangat perhatian sekali terhadapku. Aku mulai sadar bagaimana jadinya kalau aku belum menikah, atau isteriku membalas dendam atas perbuatanku dulu yang selalu bersikap dingin dan tidak jarang aku sering mengasarinya. Akhirnya aku telah kembali dari rumah sakit, kini aku mulai membiasakan diri menggunakan kursi roda, tapi isteriku ini sangat perhatian sekali, dia banyak membantu segala aktivitasku dalam recovery dari sakitku ini. Perusahanku tempatku bekerja mem-PHKkan ku dan alhamdulillahnya aku diberi pesangon yang cukup. Kemudian aku memberikan uang itu kepada isteriku karena aku merasa sudah tidak sanggup lagi untuk melakukan sesuatu yang bisa mengurusi keuanggan lagi, terlebih setelah aku keluar dari perusahaan itu. Akhirnya isteriku menggunakan uang itu untuk modal berdagang sesuatu didepan rumahku, isteriku membuat toko serba ada dan toko ini lumayan terlihat maju. Kadang aku merenung sendirian, betapa baiknya isteriku ini. Dia tidak pernah mengeluh mempunyai suami yang lumpuh, setiap pagi isteriku mengajak aku keliling komplek untuk menghirup udara segar agar pikiran tidak mudah stress katanya. Kadang dia menghiburku dengan pertanyaan-pertanyaan lucu yang membuat aku tertawa, ternyata isteriku orang yang periang juga. “Dia isteriku yang baik…” aku berfikir, kenapa aku menyia-nyiakan kebaikannya selama ini. ” begitu bodohnya aku, begitu egoisnya aku selama ini…” aku mengumpat sendiri dalam hati.
Tak lama kemudian aku menghampiri isteriku yang berada diruang makan, sedang menyiapkan makan siang untukku. Kemudian aku berbicara dengan dia.
”Dinda Isteriku….. aku meminta maaf atas semua kesalahanku dulu, atas apa yang telah aku perbuat kepadamu, aku sangat menyesal telah memperlakukanmu dengan sangat buruk” pintaku kepada dia dan tanpa terasa air mata ini jatuh dari mataku
“Aku sangat menyesal sekali, dinda….”
“Maafkan suamimu ini” kataku berkali-kali sembari tersedu-sedu aku menangis.
Dan diapun membelai pundakku, dia berujar dengan lembut.
“Walaupun apa yang telah terjadi, kamu adalah suamiku tercinta…….” Dan tak lama kemudian kami pun saling berpelukan, aku menangis terharu memecah suasana diruang makan ini dan kami saling memaafkan atas semua yang telah terjadi. Untuk mengisi hari-hariku dikursi roda dan sebagai pengusir kejenuhan, aku mulai banyak membaca buku agama dan aku semakin rajin saja dalam beribadah mendekatkan pada yang diatas, aku merasa apa yang telah terjadi pada diriku adalah takdir bagiku dan semua itu adalah cobaan bagi hambanya, aku harus kuat menghadapinya. Aku merasa bersyukur sekali mendapatkan isteri yang sholehah, baik dan berhati mulia. Tak ada yang bisa menggantikan perannya, dia adalah pelangi untukku dan selalu menjadi bulanku yang sempurna menerangiku tanpa henti dan selalu menemaniku dan terus memberikan semangat hidup dikala hati ini gelap dan redup.
Mulai saat itu aku hidup rukun bersama isteri dan anakku tercinta. Kami saling menyayangi satu sama lain, dan hari-hariku diisi dengan nilai-nilai yang lebih agamis. “tak ada kata terlambat….”pikirku untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah penuh rahmat dari Allah SWT.
Benar kata hadist dari Rasulullah SAW dari buku hadist yang aku baca bahwa “Kekejian dan perbuatan keji, sama sekali bukanlah ajaran Islam. Sesungguhnya orang yang terbaik keislamannya adalah yang terbaik budi pekertinya.”
2006
Komentar
Posting Komentar